Senin, 05 November 2012

Kisah Perjuangan dan Perang Gerilya Raja Sisingamangaraja XII

 

Foto tahun 1907 di Sagala, Samosir : Pasukan khusus Belanda yang dipimpin Hans Christoffel (pegang tongkat) mengaso sejenak di salah satu daerah di kawasan hutan Tele, sebelum melanjutkan misi tunggal : menangkap Sisingamangaraja XII hidup atau mati.

Oleh : Jaap (Belanda)**

Perjuangan dan Perang Gerilya Raja Sisingamangaraj XII

Pada tahun 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan tentaranya mendarat di pantai-pantai Aceh. Saat itu Tanah Batak di mana Raja Si Singamangaraja XII berkuasa, masih belum dijajah Belanda.Tetapi ketika 3 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1876, Belanda mengumumkan “Regerings Besluit Tahun 1876″ yang menyatakan daerah Silindung/Tarutung dan sekitarnya dimasukkan kepada kekuasaan Belanda dan harus tunduk kepada Residen Belanda di Sibolga, Raja Si Singamangaraja XII cepat mengerti siasat strategi Belanda.

Kalau Belanda mulai menguasai Silindung, tentu mereka akan menyusul dengan menganeksasi Humbang, Toba, Samosir, Dairi dan lain-lain. Raja Si Singamangaraja XII cepat bertindak, Beliau segera mengambil langkah-langkah konsolidasi. Raja-raja Batak lainnya dan pemuka masyarakat dihimpunnya dalam suatu rapat raksasa di Pasar Balige, bulan Juni 1876. Dalam rapat penting dan bersejarah itu diambil tiga keputusan sebagai berikut :

1.    Menyatakan perang terhadap Belanda
2.    Zending Agama tidak diganggu
3.    Menjalin kerjasama Batak dan Aceh untuk sama-sama melawan Belanda.

Terlihat dari peristiwa ini, Raja Si Singamangaraja XII lah yang dengan semangat tinggi, mengumumkan perang terhadap Belanda yang ingin menjajah. Terlihat pula, Raja Si Singamangaraja XII bukan anti agama dan di zamannya, sudah dapat membina azas dan semangat persatuan dengan suku-suku lainnya. Tahun 1877, mulailah perang Batak yang terkenal itu, yang berlangsung 30 tahun lamanya. Dimulai di Bahal Batu, Humbang, berkobar perang yang ganas selama tiga dasawarsa. Belanda mengerahkan pasukan-pasukannya dari Singkil Aceh, menyerang pasukan rakyat semesta yang dipimpin Raja Si Singamangaraja XII.

Pasukan Belanda yang datang menyerang ke arah Bakara, markas besar Raja Si Singamangaraja XII di Tangga Batu dan Balige mendapat perlawanan dan berhasil dihambat. Belanda merobah taktik, pada babak berikutnya ia menyerbu ke kawasan Balige untuk merebut kantong logistik Raja Si Singamangaraja XII di daerah Toba, untuk selanjutnya mengadakan blokade terhadap Bakara. Tahun 1882, hampir seluruh daerah Balige telah dikuasai Belanda, sedangkan Laguboti masih tetap dipertahankan oleh panglima-panglima Raja Si Singamangaraja XII antara lain Panglima Ompu Partahan Bosi Hutapea. Baru setahun kemudian Laguboti jatuh setelah Belanda mengerahkan pasukan satu batalion tentara bersama barisan penembak-penembak meriam.

Tahun 1883, seperti yang sudah dikuatirkan jauh sebelumnya oleh Raja Si Singamangaraja XII, kini giliran Toba dianeksasi Belanda. Namun Belanda tetap merasa penguasaan tanah Batak berjalan lamban.Untuk mempercepat rencana kolonialisasi ini, Belanda menambah pasukan besar yang didatangkan dari Batavia (Jakarta sekarang) yang mendarat di Pantai Sibolga.
Juga dikerahkan pasukan dari Padang Sidempuan.

Raja Si Singamangaraja XII membalas menyerang Belanda di Balige dari arah Huta Pardede. Pasukan Raja Si Singamangaraja XII juga dikerahkan berupa kekuatan laut dari Danau Toba yang menyertakan pasukan sebanyak 800 orang dengan menggunakan 20 solu bolon. Pertempuran besar pun terjadi. Pada tahun 1883, Belanda benar-benar mengerahkan seluruh kekuatannya dan Raja Si Singamangaraja XII beserta para panglimanya juga bertarung dengan gigih.

Tahun itu, di hampir seluruh Tanah Batak pasukan Belanda harus bertahan dari serbuan pasukan-pasukan yang setia kepada perjuangan Raja Si Singamangaraja XII. Namun pada tanggal 12 Agustus 1883, Bakara, tempat Istana dan Markas Besar Raja Si Singamangaraja XII berhasil direbut oleh pasukan Belanda. Raja Si Singamangaraja XII mengundurkan diri ke Dairi bersama keluarganya dan pasukannya yang setia, juga ikut Panglima-panglimanya yang terdiri dari suku Aceh dan lain-lain. Regu pencari jejak dari Afrika, juga didatangkan untuk mencari persembunyian Raja Si Singamangaraja XII. Barisan pelacak ini terdiri dari orang-orang Senegal. Oleh pasukan Raja Si Singamangaraja XII barisan musuh ini dijuluki Si Gurbak Ulu Na Birong.

Tetapi pasukan Raja Si Singamangaraja XII pun terus bertarung. Panglima Sarbut Tampubolon menyerang tangsi Belanda di Butar, sedang Belanda menyerbu Lintong dan berhadapan dengan Raja Ompu Babiat Situmorang. Tetapi Raja Si Singamangaraja XII menyerang juga ke Lintong Nihuta, Hutaraja, Simangarongsang, Huta Paung, Parsingguran dan Pollung. Panglima Raja Si Singamangaraja XII yang terkenal Amandopang Manullang tertangkap. Dan tokoh Parmalim yang menjadi Penasehat Khusus Raja Si Singamangaraja XII, Guru Somaling Pardede juga ditawan Belanda. Ini terjadi pada tahun 1889.

Pada awal abad ke 20, Belanda mulai berhasil menguasai Aceh sehingga pada tahun 1890 pasukan khusus Marsose yang tadinya ditempatkan di Aceh, dikerahkan untuk menyerang Raja Si Singamangaraja XII di daerah Parlilitan. Mendapat penyerangan yang tiba-tiba dan menghadapi persenjataan yang lebih modern dari Belanda, akhirnya perlawanan gigih pasukan Raja Si Singamangaraja XII pun terdesak. Dari situlah dia dan keluarga serta pasukannya menyingkir ke Dairi.

Raja Si Singamangaraja XII melanjutkan peperangan secara berpindah-pindah di daerah Parlilitan selama kurang lebih 22 tahun, disetiap persinggahaannya Beliau selalu memberikan pembinaan pertanian, adat istiadat (hukum) untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga menimbulkan kesetiaan dan dukungan rakyat untuk berjuang. Walaupun banyak di antara penduduk yang mendapat siksaan dan pukulan dengan rotan dan bahkan sampai terbunuh, karena tidak mau bekerja-sama dengan Belanda. Termasuk untuk menunjukkan tempat pasukan dan Raja Si Singamangaraja XII berada.

Pasukan Raja Si Singamangaraja XII di Dairi ini merupakan gabungan dari suku Batak dan suku Aceh. Pasukan ini dipimpin oleh putranya Patuan Nagari. Panglima-panglima dari suku Batak Toba antara lain, Manase Simorangkir dari Silindung, Rior Purba dari Bakara, Aman Tobok Sinaga dari Uruk Sangkalan dan Ama Ransap Tinambunan dari Peabalane. Dari suku Aceh antara lain Teuku Sagala, Teuku Nyak Bantal, Teuku Nyak Ben,Teuku Mat Sabang, Teuku Nyak Umar, Teuku Nyak Imun, Teuku Idris. Sedang dari rakyat Parlilitan antara lain: Pulambak Berutu, Tepi Meha, Cangkan Meha, Pak Botik Meha, Pak Nungkun Tinambunan, Nangkih Tinambunan, Pak Leto Mungkur, Pak Kuso Sihotang, Tarluga Sihombing dan Koras Tamba.

Pasukan Raja Si Singamangaraja XII ini dilatih di suatu gua yang bernama Gua Batu Loting dan Liang Ramba di Simaninggir. Gua ini berupa liang yang terjadi secara alamiah dengan air sungai di bawah tanah. Tinggi gua sekitar 20 meter dan mempunyai cabang-cabang yang bertingkat-tingkat. Sirkulasi udara di dalam gua cukup baik karena terbuka ke tiga arah, dua sebagai akses keluar masuk dan satu menuju ke arah air terjun. Jarak dari pintu masuk ke air terjun didalam gua lebih dari 250 meter. Dengan demikian, di dalam gua ini dimungkinkan untuk menjalankan kehidupan sehari-hari bagi seluruh pasukan yang dilatih tanpa harus keluar dari gua.

Pihak penjajah Belanda juga melakukan upaya pendekatan (diplomasi) dengan menawarkan Raja Si Singamangaraja XII sebagai Sultan Batak, dengan berbagai hak istimewa sebagaimana lazim dilakukan Belanda di daerah lain. Namun Raja Si Singamangaraja XII menolak tawaran tersebut. Sehingga usaha untuk menangkapnya mati atau hidup semakin diaktifkan. Setelah melalui pengepungan yang ketat selama tiga tahun, akhirnya markasnya diketahui oleh serdadu Belanda. Dalam pengejaran dan pengepungan yang sangat rapi, peristiwa tragis pun terjadi. Dalam satu pertempuran jarak dekat, komandan pasukan Belanda kembali memintanya menyerah dan akan dinobatkan menjadi Sultan Batak. Namun pahlawan yang merasa tidak mau tunduk pada penjajah ini lebih memilih lebih baik mati daripada menyerah. Tahun 1907, pasukan Belanda yang dinamakan Kolonel Macan atau Brigade Setan mengepung Raja Si Singamangaraja XII.
 
Akhir Perang Gerilya Raja Sisingamangaraja XII
 
Pertahanan Raja Si Singamangaraja XII diserang dari tiga jurusan. Tetapi Raja Si Singamangaraja XII tidak bersedia menyerah. Kaum wanita dan anak-anak diungsikan secara berkelompok-kelompok, namun kemudian mereka tertangkap oleh Belanda. Tanggal 17 Juni 1907, di pinggir bukit Aek Sibulbulon, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang, gugurlah Raja Si Singamangaraja XII oleh pasukan Marsose Belanda pimpinan Kapten Christoffel.

Raja Si Singamangaraja XII gugur bersama dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi serta putrinya Lopian. Raja Si Singamangaraja XII yang kebal peluru tewas kena peluru setelah terpercik darah putrinya Lopian, yang gugur di pangkuannya. Dalam peristiwa ini juga turut gugur banyak pengikut dan beberapa panglimanya termasuk yang berasal dari Aceh, karena mereka juga berprinsip pantang menyerah. Pengikut-pengikutnya yang lain berpencar dan berusaha terus mengadakan perlawanan, sedangkan keluarga Raja Si Singamangaraja XII yang masih hidup dihina dan dinista, dan kemudian ditawan di internering Pearaja Tarutung. Semua mereka merupakan korban perjuangan.

Perang yang berlangsung selama 30 tahun itu memang telah mengakibatkan korban yang begitu banyak bagi rakyat termasuk keluarga Raja Si Singamangaraja XII sendiri. Walaupun Raja Si Singamangaraja XII telah wafat, tidak berarti secara langsung membuat perang di tanah Batak berakhir, sebab sesudahnya terbukti masih banyak perlawanan dilakukan oleh rakyat Tapanuli khususnya pengikut dari Raja Si Singamangaraja XII sendiri. Jenazah Raja Si Singamangaraja XII, Patuan Nagari dan Patuan Anggi dibawa dan dikuburkan Belanda di tangsi Tarutung. Pada Tahun 1953, Raja Si Singamangaraja XII, Patuan Nagari dan Patuan Anggi dimakamkan kembali di Makam Pahlawan Nasional Soposurung Balige yang dibangun oleh pemerintah, masyarakat dan keluarga.

Raja Sisingamangaraja XII digelari Pahlawan Kemerdekaan Nasional dengan Surat Keputusan Pemerintah Republik Indonesia No. 590 tertanggal 19 Nopember 1961.

Sumber :  - Blog Seputar Raja Sisingamangaraja XII
               - Hasil wawancara dengan cicit kandung Raja Sisingamangaraja XII, Ir Raja Tonggo Tua Sinambela
                   - Majalah Moesson –Sitor Situmorang over de laatste koning aller Batak– De dag dat de hemel 
                zwart  werd  (Januari 2008)

Latar Belakang Perang Antar Huta Batak

Huta merupakan sebuah pemerintahan kecil yang berdiri sendiri dan berdaulat penuh atas eksistensi hutanya, keluar maupun kedalam. Tiap huta terikat akan peraturan yang ditetapkan oleh dewan huta yang disebut horja.

Huta dipimpin oleh seorang pengetua huta sebagai pendiri huta dan dialah yang memimpin aktifitas baik dalam pendirian rumah, upacara-upacara adat dan segala aktivitas upacara ritual yang terbatas pada kawasan hutanya. Tiap huta mempunyai raja huta yang berhak menentukan segala yang berlaku di hutanya.

Seiring perjalanan waktu, bebagai perselisihan dan pertengkaran timbul antar marga, antar huta, bahkan mengakibatkan perang di antara mereka. Dari beberapa sumber, Gobatak menemukan informasi bahwa perang antar huta sering terjadi terutama sewaktu masyarakatnya menganut kepercayaan animisme dan dinamisme.

Hal ini terjadi karena setiap huta ingin memperluas wilayahnya sekaligus menunjukkan kekuatannya. Untuk mempertahankan diri bahkan untuk menyerang dilakukan dengan berbagai cara. Pertahanan huta misalnya, dengan membangun “parik ni huta” atau “pagar ni huta” (benteng batu mengelilingi kampung) yang di atasnya ditanami tanaman bambu yang rapat, dengan satu akses pintu masuk, harbangan ni huta (pintu gerbang kampung).

 

















Di sisi lain bermunculan cara-cara yang bertentangan dengan ajaran leluhur suku Batak seperti “pangulubalang” (sejenis santet) dan “bura” (jampi-jampi/mantra perusak) untuk menghancurkan musuh. Masa ini disebut “tingki ni lumlam” (jaman jahiliyah di Batak) dimana kesewenangan merajalela dengan mengabaikan “tona dohot poda” dan “adat dohot uhum” (amanah dan nasihat, adat dan aturan) yang telah diajarkan oleh para leluhur.

Disamping itu juga ada persebaran marga-marga Batak Toba pada masa leluhur yang pertama selalu terjadi sengketa soal tanah, warisan, barang pusaka dan lain-lain sehingga masalah terus berlarut-larut sampai kepada keturunannya masing-masing hingga terjadi perang antar huta.

Sebelum agama Kristen masuk ke daerah Toba, orang Batak Toba masih dalam kegelapan. Diantara sesama mereka sering terjadi perang antara satu kampung dengan kampung yang lain. Pada masa itu siapa yang paling kuat menjadi penguasa dan siapa yang paling lemah akan menjadi tertindas.

Perang juga dapat terjadi jika seseorang tidak menerima keputusan rapat bius . Maka satu-satunya cara ialah melakukan perang yang dinamakan manguji antara orang-orang yang diadili pengadilan bius. Siapa yang kalah dalam perang maka dialah yang bersalah.

Dan pada jaman dahulu, onan digunakan sebagai tempat persiapan perang antar huta. Orang-orang yang sedang bermusuh dengan huta lain, lebih dulu berkumpul di onan, agar lebih mudah untuk serentak pergi perang. Walaupun perang itu terjadi antara dua huta yang mempunyai onan yang sama, maka kelompok yang akan menyerang selalu berkumpul di onan. Sedang yang merasa akan diserang tetap bersiap menanti di dalam benteng hutanya.

Barulah setelah masuknya agama Kristen, perang antar huta ini semakin jarang terjadi. Hal ini tidak terlepas dari usaha-usaha para missionaris untuk memajukan masyarakat dan mengubah cara berfikirnya melalui pendidikan ditambah dengan ajaran agama Kristen yang menganjurkan agar setiap umat saling mengasihi.

Sumber : http://www.gobatak.com/latar-belakang-perang-antar-huta-batak/

Jumat, 19 Oktober 2012

Asal Usul Danau Toba Sesungguhnya



Danau toba sesungguhnya berasal dari sebuah letusan gunung berapi raksasa (supervolcano) yang terjadi 73 ribu tahun lalu. Letusan Toba ini adalah yang ketiga, dua letusan sebelumnya sudah pernah terjadi dalam jangka waktu 1 juta tahun. Letusan Toba yang menciptakan danau Toba sekarang diperkirakan memiliki indeks Ledakan Vulkanis 8 (Mega Kolosal) sedemikian hingga membentuk kompleks kawah berukuran 3 ribu km persegi. Volume erupsi diperkirakan antara 2 ribu hingga 3 ribu km kubik magma dan 800 km kubiknya terendapkan sebagai abu vulkanis. Ukuran ledakannya adalah dua kali letusan gunung Tambora tahun 1815. Letusan gunung Tambora saat itu saja sudah cukup menghasilkan “Tahun Tanpa Musim Panas” di belahan bumi utara.

Menurut Alan Robock, letusan Toba tidak memicu zaman es. Penelitiannya yang menganalisa emisi 6 miliar ton sulfur dioksida dalam simulasinya menunjukkan pendinginan global maksimum sekitar 15 °C, tiga tahun setelah letusan. Ini berarti garis pepohonan dan salju sekitar 3000 meter lebih rendah dari sekarang. Dalam beberapa dekade, iklim kembali pulih.

Walau ada banyak perbedaan pendapat dan metode, para ilmuan setuju kalau letusan super Toba mengakibatkan lapisan hujan abu yang sangat tebal dan masuknya gas-gas beracun ke atmofer, sehingga mempengaruhi iklim dunia masa itu. Beberapa menduga peristiwa ini memicu zaman es 1000 tahun yang terjadi kemudian.

Menceritakan Asal Usul Danau Toba sesungguhnya pada Anak-anak

Sains sekarang telah cukup maju untuk mengetahui asal usul danau Toba yang sesungguhnya. Dan cerita asal usul ini ternyata jauh lebih mengagumkan, jauh lebih mengesankan dari sekedar dongeng. Kenapa mengajarkan dongeng sementara sains telah memberikan penjelasan yang lebih spektakuler lagi mengenai asal usul Danau Toba? Tampaknya sebagian besar dari kita masih belum tahu tentang asal usul Danau Toba. Dan kalaupun tahu, masih tidak tahu cara mengkomunikasikan fakta ilmiah ini pada anak-anak. Berikut kami tawarkan sebuah cerita anak yang lebih spektakuler, berdasarkan fakta sesungguhnya, mengenai asal usul danau Toba.

Di Zaman Dahulu kala, Ada seorang pemburu yang tinggal di sebuah padang rumput. Ia adalah leluhur kita. Pekerjaannya sehari-hari adalah memburu hewan paginya, kembali ke tempat berkumpul bersama keluarganya di waktu petang.
Matahari baru terbenam kala itu. Sang pemburu asyik bermain dengan istri dan anak-anaknya. Anggota kelompok lain sedang menyalakan api. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara gemuruh dari langit.
 


Peta Fraktura Sisa Letusan di Danau Toba

Di waktu tengah malam, ada sesuatu yang muncul dari langit. Terjadi hujan yang aneh. Hujan abu. Sang pemburu dan kelompoknya harus segera meninggalkan tempat tersebut dan mencari tempat baru. Abu terus mengguyur. Pemburu dan keluarganya berusaha ke barat, menjauh dari asal abu. Setelah setahun mereka berjalan ke barat, mereka bertemu dengan hutan rimba dan pegunungan sangat tinggi. Daerah ini ganas. Walaupun banyak hewan buruan, tapi lebih sering para pemburu lah yang dimakan oleh hewan. Kepala suku memutuskan agar kelompok pergi ke utara dan menghindari hutan lebat di barat.

Maka berangkatlah para pemburu yang tersisa ke arah utara. Di utara mereka menemukan banyak sumber makanan, walaupun cuaca saat itu sangat dingin. Hewan hewan yang tidak mampu bertahan di cuaca dingin mudah diburu dan karenanya dapat menjamin kelangsungan kelompok.

Pada akhirnya para leluhur sampai di sebuah selat. Di seberang selat ada daratan. Walaupun sama saja dengan di sini, tapi mungkin ada hal baru di sana. Hewan-hewan di sini semakin langka dan iklim semakin kering. Maka para leluhur membuat sampan untuk menyeberangi selat.

Di seberang selat adalah daerah yang ternyata tidak lebih baik dari daerah asal para leluhur. Disini kering, pasir dan abu dimana-mana. Para leluhur harus berjalan terus di tepi pantai agar tidak terjebak di tengah gurun. Mereka terus berjalan dan berjalan.

Pada akhirnya mereka tiba di sebuah dunia yang aneh. Dunia abu-abu, segalanya penuh tertutup abu. Tampaknya lebih baik disini daripada di dunia pasir. Lewat musyawarah, akhirnya leluhur memutuskan untuk masuk ke dunia abu.
Di dunia abu ini, mereka bertemu dengan penduduk asli. Mereka sama dengan leluhur. Ternyata mereka adalah kelompok lain yang telah lebih dulu sampai di sini. Mereka bercengkerama dan berbagi cerita. Mereka juga berbagi trik dan cara bertahan hidup. Setiap anggota kelompok tahu cara membuat api karena disini malam dan siang hampir sama gelapnya. Dan tanpa api mereka dapat tersesat di hutan.

Seiring berjalannya waktu, debu tidak lagi turun. Matahari mulai jelas terlihat. Para leluhur memutuskan untuk tidak tinggal di dunia abu-abu yang sekarang mulai hijau. Mereka berencana mencari tempat baru di timur. Mereka kembali bertualang. Jumlah leluhur sudah sangat banyak, hanya beberapa orang saja yang meneruskan perjalanan. Mereka adalah para pemberani yang gemar bertualang. Mereka menembus hutan belantara dan mendaki gunung yang tinggi. Mereka bertemu banyak sekali hal-hal menakjubkan. Dari permata hingga hewan unik. Semua halangan berhasil dilalui, hingga sang leluhur akhirnya tiba di sebuah selat.

Para leluhur memutuskan untuk menyeberang selat itu dan tiba di tanah Sumatera. Mereka berjalan terus ke pedalaman dan akhirnya tiba di sebuah Danau. Danau Toba yang besar dan berasap. Mereka memandang pada keluasan danau yang luar biasa. Membentang dengan indahnya. Leluhur yang paling pintar melihat adanya semburan abu kecil di pinggiran danau. Ia tersadar kalau inilah sumber gemuruh raksasa yang pernah leluhur mereka dengar dahulu. Inilah penyebab kenapa leluhur mulai mengungsi di masa lalu. Inilah penyebab keberadaan kita disini. Ini Danau Toba.

Para leluhur merasa telah tiba pada tujuannya. Merekapun tinggal di sekitar Danau Toba. Waktu berlalu dan leluhur terus beranak pinak. Merekalah leluhur suku Batak. Suku Batak lahir di sini, tak berapa lama setelah lahirnya Danau Toba. Bisa dikatakan kalau Batak dan Toba adalah saudara. Danau Toba lahir dan mengundang leluhur untuk menemaninya. Ya, gemuruh itu adalah tanda kelahiran Danau Toba. Ia berasal dari Letusan Gunung Api raksasa yang melontarkan abu-abunya ke angkasa. Itulah asal usul Danau Toba.

 

Letusan Gunung Berapi Terdahsyat Dalam Sejarah

Indonesia yang baru saja dikejutkan dengan peristiwa meletusnya gunung Merapi di Sleman Jogjakarta selain memiliki banyak gunung berarti aktif, juga mempunyai beberapa gunung berapi yang letusannya pernah membikin bencana dahsyat di muka bumi. Bukan hanya berefek disekitarnya bahkan juga memberi efek kepada daerah yang lebih luas bahkan jarak jangkau yang cukup jauh.


Berikut ini data beberapa letusan gunung berapi yang paling mematikan yang pernah terjadi dimuka bumi ini:


   























1.  Letusan gunung Toba ( Sumatera Utara )

Gunung Toba meletus sekitar 74.000 tahun yang lalu. Akibat letusan yang dahsyat tersebut umat manusia di bebagai belahan bumi banyak yang meninggal karena oerubahan iklim yang sangat dahsyat. Letusa tersebut mengakibatkan lubang besar sekitar 300 hektar yang sekarang menjadi Danau Toba. Danau air tawar terbesar di dunia ini memiliki ukuran 100km X 30 km.
Akibat letusan Gunung Toba, semburan debunya sampai mencapai daratan India yang berjarak ribuan kilometer dari pusat erupsi. Dengan volume material letusan yang diterbangkan mecapai 2800 km kubik, hingga debunya menutupi permukaan bumi dan menurut para ahli geologi menyebabkan suhu bumi mengalami penurunan hingga 15 derajat celcius. Konon letusannya setara 50 ribu kali letusan bom atom hiroshima.


    

2. Gunung Tambora NTB

Gunung Tambora berada di kota Dompu NTB. Gunung ini meletus tanggal 10-11 april 1815 silam. Letusan ini menyebabkan gemuruh suaranya terdengar sampai di Batavia, Makasar Ternate bahkan sampai Sumatra. Selain itu juga menyebabkan gempa berkeuatan 7 SR. Di beberapa pulau juga terjadi tsunami akibat dari letusan gunung tersebut. Tsunami itu terjadi di Besuki Jawa Timur dan Maluku.

Akibat letusan sekitar 71000 ribu warga terbunuh baik terpanggang maupun terbunuh akibat wabah kelaparan yang terjadi sesudah letusan. Semburan abu vulkanik sampai mencapai ketinggian 43 km di udara dan bertahan selama beberapa bulan dan menyebabkan perubahan musim di beberapa negara Eropa dan Amerika.





3. Gunung Krakatau ( Selat Sunda )


Krakatoa, juga dikenal sebagai Krakatau, adalah pulau vulkanis yang still-dangerous, terletak di Selat Sunda, Indonesia.26 Agustus 1883, sebuah rangkaian ledakan dahsyat yang mengerikan dengan kekuatan 13,000 kali lebih besar dari bom Hiroshima. Ledakannya terdengar hingga ke Perth, Australia.
Muntahan lebih dari 21 kilometer kubik batu dan debu membumbung hingga setinggi 70 mil. Secara resmi, lebih dari 37,000 orang tewas. Namun dengan tsunami yang ditimbulkannya, korban sepertinya bisa lebih besar lagi.


4. Gunung  Vesuvius


Letusan gunung vesuvius terjadi tahun 79m. Akibat letusan tersebut warga kota Pompei mati terpanggang. Selain itu korban yang meninggal juga banyak terjadi akibat tenggelamnya kota pompei tersebut.  Korban yang tewas diperkirakan mencapai 25000 orang dan lamanya letusan terjadi sekitar 20 jam nonstop.


5. Gunung Laki ( Eslandia )

Letusan gunung berapi setinggi 1750 mpl ini terjadi tahun 1783. Efek yang ditimbulkan adalah terbunuhnya sekitar 50% populasi makhluk hidup yang tinggal di negara tersebut. Mereka terbunuh karena menghirup udara yang mengandung belerang dan flourine. Semburan lava pijarnya sampai mencapai ketinggian 1400 meter.
Selain lima letusan dahsyat tersebut masih ada beberapa lagi letusan gunung yang tak kalah dahsyatnya. Diantaranya adalah letusan gunung mount pelee pada tanggal 8 mei 1902, Letusan Gunung Nevado del ruiz kolumbia yang membunuh 23000 warga kota dengan kecepatan aliran lahar 40km perjam. Letusan gunung Unzen di jepang tahun 1795 yang membunuh 15000 orang. Letusan Gunung kelud yang membunuh 5000 orang tahun 1919. Letusan gunung Papandayan Garut pada 1772 yang membunuh 3000 orang dan terkahir letusan Mount Lamington di Papua New Guenie tahun 1951 yang membunuh 3000 orang


dikutip dari berbagai sumber